Robbi, Izinkah Aku Menikah Tanpa Pacaran- Robbi, izinkan ku terbang cepat saat cinta hinggap dalam langkahku. Kan kubawa cinta menghadapMu dalam hening malam simpuh pintaku, dan tak akan ku izinkan syetan masuk mengotori cinta itu.
Teringat sahabat sekaligus menantu dari tauladan kita, ya dia adalah Ali bin Abi Thalib. Pemuda nan gagah perkasa. Mencintai sejantan ali pada Fatimah. Dalam diamnya ali menyusun strategi untuk member yang terbaik pada sang pujaan hatinya, bukan dengan janji-janji manis. Beliau sadar bukan seseorang yang kaya raya, dan bukan seseorang yang tampan. Tapi Rasululloh menerimanya diantara Abu Bakar dan Umar bin Khatab. Ya kita belajar dari Ali, karena cinta itu memberi bukan berjanji. Dan cinta tak harus memiliki. Dan sejatinya kita memang tak pernah memiliki apapun dalam kehidupan ini.
Kedua kita belajar dari seorang dua sahabat yang dicintai Rasululloh. Dia adalah Salman Al-Farisi dan Abu Darda. Mereka berdua menuju ke sebuah rumah di penjuru tengah kota Madinah. Rumah dari seorang wanita yang shalihah lagi bertaqwa. Dengan satu tujuan yang mulia menggenapkan separo agama. Ya beliau adalah Abu Darda dan Salman Al-Farisi. Abu Darda datang bersama sang sahabat sebagai perantara, dan mari kita simak jawaban yang luar biasa dari wanita shalihah ini.
“Maafkan kami atas keterusterangan ini”, kata suara lembut itu. Ternyata sang ibu yang bicara mewakili puterinya. “Tetapi karena anda berdua yang datang, maka dengan mengharap ridha Allaah saya menjawab bahwa puteri kami menolak pinangan Salman. Namun jika Abu Darda” kemudian juga memiliki urusan yang sama, maka puteri kami telah menyiapkan jawaban mengiyakan.”
Jelas sudah. Keterusterangan yang mengejutkan, ironis, sekaligus indah. Sang puteri lebih tertarik kepada pengantar daripada pelamarnya! Itu mengejutkan dan ironis. Tapi saya juga mengatakan indah karena satu alasan; reaksi Salman. Bayangkan sebuah perasaan, di mana cinta dan persaudaraan bergejolak berebut tempat dalam hati. Bayangkan sebentuk malu yang membuncah dan bertemu dengan gelombang kesadaran; bahwa dia memang belum punya hak apapun atas orang yang dicintainya, mari kita dengar ia bicara.
“Allaahu Akbar!”, seru Salman, “Semua mahar dan nafkah yang kupersiapkan ini akan aku serahkan pada Abu Darda,’ dan aku akan menjadi saksi pernikahan kalian!”
Tak mudah menjadi seorang sahabat Ali bin Abi Thalib, memendam gemuruh rasa dengan tetap menjadikannya suci dalam ikatan pernikahan. Dan tak mudah juga menjadi lelaki sejantan Salman dengan rasa berkecambuk didada antara malu, kecewa, sedih merasa salah memilih pengantar, merasa berada di tempat yang keliru, di negeri yang salah, dan seterusnya. Ini tak mudah. Apalagi menjadi setulus Abu Darda. Marilah kita belajar untuk menjadi orang yang benar dalam menata dan mengelola hati. Bagaimana kiranya proses untuk menjadi orang yang shadiq? Mari kita belajar dari ulasan berikut ini :
1. Shidqun Niyah, artinya benar dalam niat. Benar dalam semburat pertama hasrat hati. Benar dalam mengikhlaskan diri. Benar dalam menepis syak dan riya’. Benar dalam menghapus sum’ah dan ujub. Benar dalam menatap lurus ke depan tanpa mempedulikan pujian kanan dan celaan kiri. Benar dalam kejujuran pada Allaah. Benar dalam persangkaan pada Allaah. Benar dalam meneguhkan hati.
2. Shidqul ‘Azm, artinya benar dalam bertekad, benar dalam keberanian-keberanian. Benar dalam janji-janji pada Allaah dan dirinya. Benar dalam memancang target-target diri. Benar dalam pekik semangat. Benar dalam menemukan motivasi setiap kali. Benar dalam mengaktivasi potensi diri. Benar dalam memikirkan langkah-langkah pasti. Benar dalam menatapkan jiwa.
3. Shidqul Iltizam, artinya benar dalam komitmen. Benar dalam menetapi renca-rencana. Benar dalam melanggengkan semangat dan tekad. Benar dalam memegang teguh nilai-nilai. Benar dalam bersabar atas ujian dan gangguan. Benar dalam menghadapi tantangan dan ancaman. Benar dalam mengistiqomahkan dzikir, fikir dan ikhtiyar.
4. Shidqul ‘Amaal, artinya benar dalam proses kerja. Benar dalam melakukan segalanya tanpa menabrak pagar-pagar Ilahi. Benar dalam cara. Benar dalam metode. Benar dalam langkah yang ditempuh. Benar dalam profesionalisme dan ihsannya amal. Benar dalam tiap gerak anggota badan.
Nah, mari coba kita reflesikan proses menjadi orang benar ini dalam proses menuju pernikahan. Seperti sahabat Ali dan sahabat Salman. Ia kuat memelihara aturan-aturan syar’i. Dan mengharukan caranya mengelola hasrat hati. Insya Allaah dengan demikian keberkahan itu semakin mendekat.Apa kita sederhana untuk menjaga hati menyambut sang kawan sejati? Memfokuskan diri pada persiapan. Merekea yang berbakar gagal dalam pernikahan biasanya adalah mereka yang berfokus pada “WHO”. Dengan siapa. Mereka yang Insya Allaah bisa melalui kehidupan pernikahan yang penuh tantangan adalah mereka yang berfokus pada “WHY” dan “HOW”. Mengapa dia menikah, dan bagaimana dia meraihnya dalam kerangka ridha Allaah.
Maka jika kau ingin tahu, inilah persiapan-persiapan itu :
1. Persiapan Ruhiyah (Spiritual) ini meliputi kesiapan kita untuk mengubah sikap mental menjadi lebih bertanggung jawab, sedia berbagi, meluntur ego, dan berlapapang dada. Ada penekanan juga untuk siap menggunakan dua hal dalam hidup yang nyata, yakni sabar dan syukur. Ada kesiapan untuk tunduk dan menerima segala ketentuan Allaah yang mengatur hidup kita seutuhnya, lebih-lebih dalam rumah tangga.
2. Persiapan ‘Ilmiyah-Fikriyah (Ilmu Intelektual) bersiaplah menata rumah tangga dengan pengetahuan, ilmu, dan pemahaman. Ada ilmu tentang Ad Diin. Ada ilmu tentang berkomunikasi yang ma’ruf kepada pasangan. Ada ilmu untuk menjadi orangtua yang baik (penting). Ada ilmu tentang penataan ekonomi. Dan banyak ilmu yang lain
3. Persiapan Jasadiyah (Fisik) jika memiliki penyakit-penyakit, apalagi berkait dengan kesehatan reproduksi, harus segera diikhtiyarkan penyembuhannya. Keputihan pada akhwat misalnya. Atau gondongan (parotitis) bagi ikhwan. Karena virus yang menyerang kelenjar parotid ini, jika tak segera diblok, bisa menyerang testis. Panu yang harus disembuhkan, hehe. Perhatikan kebersihan. Yang lain, perhatikan makanan. Pokoknya harus halal, thayyib, dan teratur. Hapus kebiasaan jajan sembarangan. Tentang pakaian juga, apalagi pada bagian yang paling pribadi. Kebiasaan memakai dalam yang terlalu ketat misalnya, berefek sangat buruk bagi kualitas sperma
4. Persiapan Maaliyah (Material) yang terpenting bukan pekerjanya apalagi tetap melainkan harus berpenghasilan, selebihnya kemampuan mengelola keuangan.
5. Persiapan Ijtima’iyyah (Sosial) artinya, siap untuk bermasyarakat, faham bagaimana bertetangga, mengerti bagaimana bersosialisasi dan mengambil peran di tengah masyarakat. Juga tak kalah penting, memiliki visi dan misi da’wah di lingkungannya.
Kata ‘Umar bin Khatab, pemuda yang tidak berkeinginan segera menikah itu kemungkinannya dua. Kalau tidak banyak ma’shiatnya, pasti diragukan kejantanannya.“Mengapa kamu tidak percaya akan kebesaran Allaah?” (Nuh:13)
Begitulah, selamat menyambut kawan sejati, dalam naungan cinta illahi.
Admin Islamic Media and Technology Site