Info Palestina - Israel Yang Takut Logika Musuhnya - Mahmud Haidar, Yang paling ditakuti Israel - dimana kini mereka sedang mengawasi gerak gerik perubahan revolusi di dunia Arab - jika Palestina kembali "bekerja" sesuai dengan logika Intifadhah I di akhir tahun 1980an. Sebab saat itu, bangsa Palestina akan mampu membuat inovasi perlawanan yang bisa menggagalkan sarana militer Israel dan memaksa Negara penjajah ini pada pilihan politik dan keamanan yang sangat berbahaya.
Meski selama dua dekade elit Israel berusaha menghindari Intifadhah, namun kekhawatiran strategis mereka akan meletusnya "revolusi batu" bersamaan dengan perubahan di kawasan muncul kembali sekarang. Pertanyaan yang menggelayuti Israel hari ini adalah jika warga Palestina di Gaza dan Tepi Barat bersatu bersama dengan Palestina '48 dibawah satu slogan "bangsa Palestina ingin mengakhiri penjajahan".
Pertanyaan selanjutnya bagi Israel, apa pilihan bagi Negara yang dibangun di atas ekspansi pemukiman dan penjajahan jika menghadapi bangsa yang ingin menggelar perang panjang dengan dada telanjang??
Israel begitu takut jika ini terjadi sebab "revolusi batu" sudah terbukti menjatuhkan sebuah rezim yang dianggap Israel sebagai partner strategi dalam bidang keamanan seperti rezim Mesir.
Kita akan lihat bagaimana teori Israel akan dibangun di atas pesimistis karena secara sosio mereka sudah capek dalam menghadapi perang panjang dengan bangsa Palestina. Teori Israel itu adalah "biasanya pihak yang lemah akan lebih logis".
Bagaimana itu? Sejumlah pemikir Israel menyatakan, pihak yang lemah ketika menghadapi pihak yang kuat akan memiliki standar pertimbangan yang lebih jeli dibanding pihak yang menang. Jenderal veteran Israel Van Carifield menegaskan, "Ketika dulu kami lemah, kami sangat logis dan cerdas sehingga kami mampu mewujudkan kemenangan. Namun terjadi perubahan mengakar sehingga konflik dan perimbangan terbalik. Masalah mulai muncul di Libanon ketika kita langsung melakukan peperangan dengan pihak yang lebih lemah. Sejak itu kami terus merasakan kegagalan dan kegagalan."
Garis menurun dalam perang Juli 2006 semakin menurun di luar perkiraan pakar futuristik Israel ketika terjadi percobaan perang atas Gaza tahun 2009. Tidak berlebihan jika pengamat Israel sepakat bahwa "jika kondisi berlanjut seperti ini, kita akan sampai pada fase kehancuran Israel".
Pesimistis Israel akan kentara lagi ketika seorang kolumnis Israel Aharon Libron melontarkan berkali-kali gagasan apakah Israel benar-benar kuat? Ia menegaskan Israel benar-benar kuat namun ia sekarang lebih tertawan oleh temboknya yang tertutup. Beberapa tahun lalu Israel tidak ada masalah dengan kekuatan yang bisa dia gunakan melawan Arab di wilayah jajahan 1967 dan 1948, dan Libanon Selatan. Selama setengah abad memang Israel merasa paling kuat dan dengan mudah mewujudkan kemenangan. Namun, tegas kolumnis Israel ini, teori ini mustahil bisa diterapkan dalam kurun dua dekade belakangan.
Dan penyebab mundurnya kekuatan Israel itu adalah Intifadhah Palestina yang memberikan contoh tegas bisa melumpuhkan alat-alat perang Israel dengan senjata rakyat dimana Israel tidak biasa menghadapinya sejak entitas ini berdiri.
Dengan Intifadhah itu, Palestina untuk pertama kalinya mampu memaksa Israel mengikuti kehendak mereka yakni dengan hengkang dari Gaza dan itu akan diterapkan di Tepi Barat.
Israel pun mengakui bahwa musuh-musuhnya kini sudah mengetahui banyak hal terkait politik dan keamanan Israel secara detail sehingga mengerti titik lemahnya.
Perubahan geostrategic sejak invasi Irak kemudian kegagalan Israel di Libanon dan Gaza, akan menghalangi Israel untuk berfikir menggelar perang mengembalikan perimbangan kekuatan. Mereka akan meragukan kembali kinerja elit politik dan militer. (bsyr)