Sekitar tahun 1979 di tempat saya kuliah, Fakultas pertanian Universitas Brawijaya Malang, ada kebiasan menyelenggarakan ujian lisan, khusus untuk ujian ulang seorang rekan kebetulan ingin memperbaiki nilai mata kuliah Ilmu Serangga sehingga harus mengikuti ujian lisan dengan profesornya yang terkenal mahal senyum.
Dengan jantung berdebar rekan saya membuka pintu ruang ujian. Namunn siapa sangka sang Profesor menyambutnya dengan senyum manis. Dengan gugup rekan saya duduk di hadapan pernguji tersebut.
“Bagaimana Saudara Anugrah, apakah saudara sudah siap?” Tanya sang Profesor sambil membolak-balik kertas di hadapannya
“Bagaimana belajar Anda semalam? Apakah selama duduk di kursi belajar saudara mendapat banyak gangguan?”
Di dalam hati rekan saya keheranan. Kok sang Profesor beramah-tamah dahulu, bahkan tahu kalau kursi belajarnya yang dari rotan banyak dihuni kutu busuk.
“Nah itulah, pak. Semalam saya belajar saya agak terganggu karena saya digigit tinggi (bahasa Jawa ‘kutu busuk’ – Red.),” jawabnya bersemangat.
Diluar dugaan sang Profesor segera mencoretkan sesuatu di kertasnya dan berkata, “Rupanya belajar saudara memang terganggu. Maaf, kali ini saudara tidak lulus ujian. Saudara harus tahu, kutu busuk tergolong tipe penusuk, bukan penggigit. Jadi, kali saudara belajar, seharusnya saudara mengatakan, ‘ditusuk tinggi’. Itu baru benar. Nah, dengan demikian silahkan mengulang tahun depan.”
Wah ternyata pertanyaan ramah-tamah tadi soal ujian. Dari kasus itu pula saya belajar untuk mengatakan, “Ditusuk kutu busuk”, dan bukannya, “Digit kutu busuk”.(Titiek Irawati, di Lawang)
Diambil dari Majalah Intisari